Semacam Panggilan Terbuka: Surat Cinta Kepada Rupawan

Sepertinya saya jadi memang tak pernah kontan mengurai atau mengutarakan harapan. Saya mungkin hanya beruntung.

Dalam waktu yang pendek ketertarikan saya dengan pengetahuan kuratorial seni semacam bergejolak. Paling tidak dibangkitkan oleh momentum belajar dan bekerja dalam kearsipan seni sekaligus latihan menulis.

Paragraf di atas mungkin terlalu dini meletup untuk menyebutnya ‘kerja kurasi’ sebagai sebuah ketertarikan. Mungkin saja yang ingin saya bilang hanyalah sekadar suka menulis; praktik pendokumentasian pengetahuan yang terkandung dalam proses atau praktik kreatif–artistik. Terutama dari hal-hal remeh-temeh dan memang urun meneliti hal-hal yang kecil di sekitar kita.

Sesungguhnya saya tak tumbuh dari keluarga yang membangun  atmosfir belajar dalam perihal membaca buku, apalagi menulis. Saya tumbuh oleh asuh seorang (almarhum) nelayan yang tenang, nyaris lebih mirip pendiam. Tetapi keluarga dan temannya bilang, ia laki-laki dan ayah yang sabar, tapi seringkali melucu dan mengajak berpikir lewat leluconnya. Sementara ibu saya yang religius, rajin mengaji dan sempat beberapa lama membuka tempat belajar baca al-quran khusus anak-anak dan remaja. Namun sikap bersikeras seringkali terjadi jika sesuatu tak seperti yang ia bayangkan. Orang tua saya, saya kira tidak dengan sengaja menuntun anaknya mengenali cita-cita sejak dini di rumah–padahal tampak memengaruhi pilihan sadar saya kelak. Atau mungkin justeru baru saja muncul saat berumur kepala tiga atau jangan-jangan yang baru saja saya perkirakan muncul ketika mulai menuliskan ‘semacam surat cinta’ ini.

Yang saya ingin bilang bahwa umbaran di atas adalah sebuah nilai dari terpaparnya manfaat atas ketertarikan terhadap praktik pendokumentasian dan arsip pengetahuan yang terjadi dalam proses-proses artistik–sejak masa kuliah hingga kebetulan bergabung dengan lembaga riset kota dan seni. Untungnya, saya kira dapat menjadi lumayan imbang dengan kerja non-artistik dalam produksi seni ketika bergabung dalam komunitas seni kampus–seperti mengurusi administrasi lembaga.

Saya sempat ditimpali oleh kata teman yang lebih tua, seorang penulis, peneliti dan kurator. Bahwa terampil di bidang tertentu caranya mesti dilatih terus-menerus–begitulah tampaknya cita-cita dibentuk, sadar ataupun tidak. Kalau tak salah ingat itu terjadi lima tahun lalu dalam sebuah obrolan santai sambil main gitar dan minum kopi. “Mantra” itu juga jangan-jangan yang menuntun saya dalam kesempatan belajar ke saluran yang beririsan dengan praktik dan produk budaya ini.

Bagaimana jika kesadaran perihal nilai yang terkandung di atas itu terbentuk dan muncul justeru belakangan setelah terpapar dengan sesuatu yang menyertainya dalam sependek waktu ini? Bisalah jadi.

Dengan sangat sadar bahwa saya juga percaya setiap hari adalah perjalanan belajar. Sebagaimana kita semua tahu itu. Pertanyaan itu paling tidak saya tujukan bagi saya sendiri sebagai sebuah luang waktu untuk belajar–menulis justeru sebab terpapar manfaat kemudian tertarik dengan kesenian ini.

Suatu hari dalam bulan lalu saya mengontak seorang teman yang latar akademiknya di bidang kearsipan seni rupa. Ia melakukan studi di Jogja. Saya dengar ia akan melanjutkan ke jenjang doktor. Teman muda yang saya kenal di sebuah perpustakaan buku sebab irisan sebuah event dan perbincangan seni rupa di dalamnya. Ia lebih tua sekira dua tahun dari saya. Singkat kami bercerita, terutama perihal gambaran medan seni rupa wilayah timur yang dikerjakannya belakangan bersama kawan seniman yang ia temui.

Saya mengontaknya setelah dirinya merekomendasi nama saya. Belakangan terhubung, ditawarkan mewakili project ini untuk berpartisipasi langsung dengan platform seni yang menawarkan beragam karya seniman nasional untuk diperkenalkan ke pasar seni manca negara sekaligus berdampingan dengan seniman manca negara lainnya. Terakhir kali saya dikontak dan diundang untuk berpartisipasi dalam program ini oleh pihak manajemennya, seorang di bidang Artis Liaison, semacam spesialis untuk menghubungkan para seniman. Kabar itu yang sedang saya teruskan kepada seniman kita.

Platform seni ini dirintis di Singapura pada masa pagebluk juga merespons keadaan dewasa ini. Itu platform yang dimanajemeni oleh sebuah galeri seni rupa yang membantu membawa karya-karya rupawan untuk diapresiasi secara terbuka. Sebagaimana tujuannya adalah “Demokratisasi Seni” untuk membuat seni dapat diakses oleh semua orang melalui globalisasi–mestinya seniman dan kurator seni kita dapat seimbang dengan perkembangan kesenian di belahan bumi yang lain.

Platform yang memungkinkan untuk mempertemukan karya seni rupa kepada apresiator dengan minat khusus kepada seniman tertentu. Kemungkinan baiknya adalah demi sebuah pengembangan seniman itu sendiri dan membuka peluang terus berdaya dan berkelanjutan.

Saya sudah menghubungi dan bertemu langsung dengan beberapa nama, seniman yang dapat saya jangkau di kota ini. Namun saya meminta pula rekomendasi atau bantuan teman-teman untuk membagi informasi tentang keberadaan seniman di kota ini dan daerah sekitarnya yang mungkin dapat saya hubungi dan berkenan dapat saya temui langsung. Kerja ini tak akan pernah berarti tanpa urunan dan bantuan handai tolan semua yang baik hati. Detail program ini akan diupayakan dapat saya teruskan dalam pertemuan tatap muka. Sebagai gambaran, teman-teman dapat mengunjungi website program ini di lproject.net untuk lebih lanjut kita obrolkan terkait bagaimana kita memulainya.

Salam hormat.

Waenahi, 14 Juni 2021. 02:33 Wita.

Tinggalkan komentar