Waktu Luang ke Desa Kahayya dalam Senandung Kopi Kahayya #3

Berkunjung ke Desa Kahayya sebab konfirmasi manajemen Sanggar Seni Budaya Al Farabi (@ssbalfarabi) dan Serikat Pemuda Kahayya dalam rangka pesta panen kopi, Senandung Kopi Kahayya ke-3 (SKK3) untuk para talent yang akan tampil. Kegiatan yang belakangan saya ketahui bahwa sebagian besar persiapannya itu dikerjakan oleh warga Kahayya sendiri.

Para penampil yang saya ketahui melalui akun Instagram @senandungkopikahyya3 yakni MJ27 (Bulukumba), Musik Trotoar Makassar (Makassar), Kondoa Project (Bulukumba), Yogi WR (Bulukumba), BenangMerah (kolaborasi Selayar – Makassar), Senda Diskusi (Makassar), Gamacca Akustik (Bulukumba), dan proyek musik saya: Waktu Luang (@bunyiwaktuluang) yang dalam lembar publikasi during SKK3 menyematkan nama tempat saya lahir dan masa kecil saya di Flores.

Senandung Kopi Kahayya digelar di Desa Kahayya, Kecamatan Kindang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Saya baru pertama kali ke desa ini. Namun pernah sesekali melintas ke Bulukumba bila ke Makassar melalui transportasi penyebarangan  laut dari Labuan Bajo ke Pelabuhan Ferry Bira.

Saya bersama seorang teman mengendarai sepeda motor ke Bulukumba. Setelah tiba, dari kota ke arah bagian utara, jarak yang kami tempuh kurang lebih selama sejam mengendarai sepeda motor untuk sampai ke Desa Kahayya. Melintasi jalan yang lumayan berbatu daripada jalan yang sudah diberi aspal. Jalan-jalannya yang lumayan menanjak dan agak sempit ketika akan segera tiba di sana. Rupanya kendaraan beroda empat juga bisa sampai ke lokasi pesta panen kopi ini dihelat.

Satu dari mungkin sekian alasan daripada sekadar ingin menikmati bergelas-gelas kopi Kahayya langsung di kebun di mana kopi itu ditanam. Alasan menyenangkan lain barangkali setelah lumayan berpayah-payah berkendaraan, alam yang dimiliki desa ini setidaknya menimpali lejar saya diperjalanan.

Untungnya, lokasi camp amatlah dekat dari area panggung. Jadi, saya mudah untuk keseringan mondar-mandir dari lokasi camp ke titik panggung demi sedikit bersantai dan menikmati pemandangan daratan bukit-bukit di ketinggian 1400 meter diatas permukaan laut. Angka itu hasil selancar saya dalam mesin pencari Google.

Dekat dari lokasi camp juga tersedia stand kedai kopi. Setiap peserta camp hanya menunjukkan id card yang diberikan panitia untuk mendapatkan jatah Kopi Kahayya langsung dari baristanya. Kata penyelenggara kegiatan, tak apa memesan kopi berkali-kali meski saya bukanlah pecandu kopi, hanya menikmatinya sebagaimana biasanya kopi yang saya minum untuk menemani saya duduk ketika berjam-jam di depan desktop komputer.

Panggung pertunjukan dibangun persis di tepi tebing dan seakan menjadi latarnya adalah dataran bukit-bukit. Jika senja sudah tiba, pancaran terang matahari yang belum benar-benar terbenam, sepanjang di balik bukit menjadi lebih dulu lembayung. Keadaan singkat itu seakan menjadi presentasi alam lainnya untuk panggung pertunjukan yang sengaja dibangun demi dataran bukit yang melatari. Karena itu lampu panggung tampak semakin elok saat hari menjadi setengah gelap. Malam hari memang udaranya yang dingin menjadi tantangan bagi saya yang terbiasa di daratan pesisir dengan hembusan angin laut. Bila dingin pegunungan terasa menusuk sampai ke dalam sum-sum tulang, di lautan, dingin oleh angin laut, saya biasa hanya mencari teduh di balik dinding papan kayu perahu.

Di antara tebing dan bukit itu ada pemandangan kebun-kebun yang digarap warga setempat. Dari situ juga terdengar suara air mengalir. Sekisar sejam, bila berjalan kaki dari tempat itu, ke arah matahari tenggelam, kita bisa menemui air terjun sungai yang mengalir di bawah tebing di mana panggung pertunjukan berdiri. Begitu kata seorang warga yang sengaja saya ajak berbincang, bilamana kita ingin mengunjungi titik air terjun itu. Sungai ini yang rupanya dimanfaatkan warga desa untuk mebangkitkan listrik yang warga bikin sendiri untuk lampu penerangan bagi empat puluhan rumah warga setempat.

Saya menyadari catatan ini mengadung impresi. Sekali berkunjung tak cukup menimpali kesan saya yang amat tipis ini. Namun, tentu bukan saya yang akan mengelak bila berkunjug sekali lagi ke tempat semacam ini. Kesempatan yang menyenangkan mempresentasikan musik saya di antara kebun kopi Kahayya, warga desa, dan para pengunjung lainnya. Bagi saya, yang sehari-hari bekerja berjam-jam dengan perangkat komputer, momen ini menjadi kesempatan terbaik untuk menepi dalam sedikit waktu demi menikmati bumi Kahayya.

Terima Kasih, terima kasih. Semoga bisa ketemu diluangwaktu yang lain. Salam #BunyiWaktuLuang!

Tinggalkan komentar